Kamis, 30 Desember 2010

Aphasia


Abstrak

Aphasia adalah gangguan bahasa yang mempengaruhi lebih dari 1 juta orang, yang kebanyakan adalah mereka yang berumur diatas 65 tahun (Groher, 1989). Kelainan ini secara khusus telah terkonsep dengan kerangka kognitif neuroscience (ada hubungannya dengan ilmu syaraf dan berpikir), tetapi interpretasi perilaku dari Aphasia juga mungkin. Analisis Skinner (1957) atas perilaku verbal dari kerangka operan verbal yang bisa di hubungkan dengan tujuan perkerjaan yang dilakukan oleh Sidman (1971) dan Haughton (1980) untuk mendeskripsikan kesulitan berbahasa seseorang yang terkena Aphasia. Menggunakan model sintesis ini, kami mengajukan taksonomi (penyusunan) baru dari gangguan Aphesia berdasarkan hubungan observasi yang didapat. Implikasi asesmen dan penangannya juga dibahas.

Kata kunci : aphasia, bahasa, perilaku verbal, kesamaan, saluran belajar.

Aphasia adalah gangguan berbahasa yang terkarakterkan dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau mengolah bahasa yang tidak terkait untuk kekurangan sensori ataupun motorik (Spreen & Risser, 2003), bagaimanapun juga ketidak pengaruhan kekurangan motorik juga kemungkinan ada (Lieberman, 2002). Begitulah, mendegarkan dan kemampuan fisik untuk mengolah fonem masih ada, tetapi pengertian berbahasa, produktivitas, atau penggunaannya adalah dampak akibat untuk pengamatan atau kerusakan dalam penyimpulan untuk Central Nervous System (CNS; LaPointe, 2005). Diagnosis dari Aphasia membutuhkan demonstrasi dari kerusakan neurologikal, yang bisa disimpulkan dari beberapa perbedaan etiologis seperti struk dan kerusakan traumatis otak. Etiologis ini menyimpulkan bahwa kerusakan hanya bisa langsung dipantau melalui pemeriksaan neuroimaging. Awalnya peneliti mengira kerusakan hanya sebatas di tingkat kortikal; bagaimanapun, penelitian neuro-imagig baru-baru ini telah menunjukkan bahwa kerusakan juga terjadi di tingkat sub-kotikal (contoh, Lieberman; Thompson, 2005).

Aphasia bisa sama sekali batas dari fungsi seseorang melewati beberapa area dengan kurangnya komunikasi yang menuntun untuk terjadi isolasi sosial, hilangnya aktifitas yang disukai dan depresi, ketidakpercayaan, dan mengurang kualitas kehidupan (Beeson & Bayles, 1997; Groher, 1989). Sebuah perkiraan dari 80,000 warga Amerika mengalami Aphasia seriap tahun dengan total perkiraan 1 – 2 juta yang menderita gangguan Aphasia. Aphasia mempengaruhi seseorang melalui kedua gender dan semua kelompok usia tetapi yang umumnya terjadi pada usia pertengahan dan tua, secara drastis meningkat kemungkinan Aphasia dalam suia 85 atau lebih. (Beeson & Beyles; Groher).

Kamis, 18 November 2010

Kekuasaan dalam Kelompok

A. Definisi
1) Weber : kemungkinan dimana seseorang di dalam hubungan sosialnya mempunyai posisi untuk melakukan keinginannya tanpa perlawanan.
2) Buckley : kendali atau pengaruh atas perilaku orang lain untuk mendukung pandangan seseorang tanpa sepengetahuan mereka, bertentangan dengan keinginan atau pemahaman mereka.
3) Kipnis : interaksi antara dua pihak, pemegang kekuasaan dan target person, dimana perilaku tadi diarahkan oleh pemegang kekuasaan.
4) Kekuasaan koersif : memaksa, bentuk-bentuk legitimasi dari pengaruh sosial, seperti ancaman, hukuman.

B. Dasar-dasar atau Sumber-sumber Kekuasaan
1. Reward
2. Coersive
3. Legitimate
4. Referent
5. Expert

C. Proses-proses Kekuasaan
1. Adanya kepatuhan.
2. Formasi Koalisi (sub kelompok dalam kelompok yang lebih besar).

Perubahan-perubahan dalam power holder:
1. Memperlebar jarak sosial antara dirinya dengan orang lain yang tidak punya power.
2. Yakin bahwa yang nonpowerful tidak dapat dipercaya dan butuh “waskat” (pengawasan yang ketat).
3. Tidak menilai pekerjaan dan kemampuan dari orang yang kurang berkuasa.

Perubahan-perubahan ketika powerless:
a. pasif dan menerima situasi.
b. memberontak akan ketidaksamaan dan berusaha mendapatkan persamaan struktur.
c. berusaha meningkatkan power secara tertutup dengan koalisi.
d. menarik diri secara total dari kelompok.

Motivasi dan Tujuan Kelompok



A. Definisi
(1) Proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang, timbul dari dalam diri (intrinsik) atau dari luar diri (ekstrinsik) karena adanya rangsangan.
(2) Dorongan kerja yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
(3) Suatu usaha sadar untuk mempengaruhi perilaku seseorang agar mengarah pada tercapainya tujuan organisasi.

B. Teori-teori Motivasi
1. Teori Kebutuhan
- tindakan manusia pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhannya
Tokoh : Maslow, Herzberg, Mc Clleland, Vroom

a. Satisfaction of Needs Theory (Maslow)

 -menyusun tingkat kebutuhan manusia.

b. Motivation Maintenance Theory (Herzberg)
Ada 2 faktor yang mempengaruhi individu:
- Satisfiers = intrinsic factor
Maslow = higher order needs (self esteem dan self actualization)
- Dissatisfiers = extrinsic factor
Maslow = lower order needs (fisiologis, security dan social)

c. Teori Kebutuhan dari Mc Clleland
- Need of power
- Need of affiliation
- Need of achievement
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi:
1. ciri-ciri pribadi individu (individual characteristic)
2. tingkat dan jenis pekerjaan (job characteristic)
3. lingkungan (environmental situations)

Kohesivitas Kelompok

A. Definisi
Collins dan Raven (1964) : kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal di dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok.

B. Alat Ukur
1. Ketertarikan interpersonal antar anggota
2. Ketertarikan anggota pada kegiatan dan fungsi kelompok
3. Sejauh mana anggota tertarik pada kelompok sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan personalnya (Mc David dan Harary) Kelompok yang makin kohesif, maka:

- tingkat kepuasan makin besar
- anggota merasa aman dan terlindungi
- komunikasi lebih efektif, bebas, terbuka dan sering
- makin mudah terjadi konformitas → anggota makin mudah tunduk pada norma kelompok dan makin tidak toleran pada devian.

Groupthink ; Berpikir Serentak Sama

Groupthink merupakan proses pengambilan keputusan yang terjadi pada kelompok yang sangat kohesif dimana anggota-anggotanya berusaha mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya menjadi tidak efektif lagi.

Gejala:

1. Pencarian kesepakatan yang terlalu dini
a. Tingginya tekanan konformitas
b. Sensor diri terhadap ide-ide yang tidak disetujui
c. Adanya minguard
       - Gate keeping : mencegah informasi dari luar agar jangan sampai mempengaruhi kesepakatan kelompok.
       - Dissent containment : mengabaikan mereka-mereka yang memiliki ide-ide yang bertentangan dengan    kesepakatan.
d. Persetujuan yang tampak

2. Ilusi dan mispersepsi
a. Ilusi invulnerability → kelompok selalu benar dan kuat
b. Ilusi moral
c. Persepsi bias tentang out group → buas, jelek, dll
d. Collective rationalizing

Penyebab:

• kohesi yang ekstrem
• isolasi, leadership dan konflik decisional
• proses polarisasi


Pencegahan:

1. Membatasi pencarian keputusan secara dini
a. meningkatkan open inquiry
b. kepemimpinan yang efektif
c. multiple group → subgroup

2. Mengoreksi mispersepsi dan error
a. mengakui keterbatasan
b. empati
c. pertemuan ‘kesempatan kedua’

3. Menggunakan teknik-teknik keputusan yang efektif
Tahap I : kelompok harus terima tantangan dengan memilih solusi yang mungkin terbaik.
Tahap II : kelompok harus mencari alternatif solusi dengan membuat
daftar
Tahap III : evaluasi sistematik terhadap alternatif-alternatif pada
tahap-tahap hasil = konsensus
Tahap IV : mengubah konsensus menjadi keputusan
Tahap V : mematuhi keputusan yang diambil.

Deindividuasi ; Proses Hilangnya Kesadaran Individu

Deindividuasi merupakan proses hilangnya kesadaran individu karena melebur di dalam kelompok → pikiran kolektif.

Perspektif Teoritis.
1. Teori Perilaku Kolektif
Kolektif : kumpulan individu yang lebih daripada skedar agregrat, tapi juga bukan kelompok sebenarnya.

Tipe kolektif:
a. Social Agregrat : collective outburst (riots, mobs, dsb)
b. Collective Movement : organisasi politik, kampanye nasional, dsb

a. Teori Konvergen
Agregrat mewakili orang dengan kebutuhan, keinginan dan emosi situasi crowd memicu pelepasan spontan dari perilaku-perilaku yang sebelumnya terkontrol.

b. Teori Contagion (Penularan)
Emosi dan perilaku dapat ditransmisi ‘(ditular)’ dari satu orang ke orang lain sehingga orang cenderung berperilaku sangat mirip dengan orang lain.

c. Teori Emergent-Norm (Perkembangan Norma)
Teori gabungan konvergen – contagion, crowd, mob dan kolektif lainnya hanya kelihatan setuju sepenuhnya dalam emosi dan perilaku karena anggotanya patuh pada norma yang relevan dalam situasi tertentu.

Tahap PERFORMING ; Bekerjasama dalam Kelompok

Percobaan Norman Triplett (1897) tentang fasilitasi sosial yaitu situasi dimana kehadiran orang lain akan meningkatkan kinerja seseorang.

A. Coaction Paradigm
→ beberapa orang melakukan tugas dan ditempat yang sama, tetapi tidak saling berinteraksi, misalnya: ujian dikelas.

B. Audience Paradigm (passive spectators)
→ kehadiran orang lain justru menghambat kinerja, misalnya: menghapal pelajaran ditengah orang banyak.
Penelitian Robert Zajonc:
Respon dominan.
→ fasilitasi sosial yang ada meningkatkan kinerja seseorang, maka respon dominan itu sesuai.
Respon nondominan
→ fasilitasi sosial yang ada menurunkan kinerja seseorang, maka respon dominan itu tidak sesuai.

Penyebab fasilitasi sosial:
1. adanya dorongan
2. kekhawatiran akan penilaian (evaluasi) orang lain
3. distraksi (perhatian yang terpecah)

Performance Dalam Kelompok yang Berinteraksi
Tipologi tugas dari Steiner didasarkan pada kombinasi antara:
- jenis-jenis tugas yang dapat dibagi
- jenis-jenis hasil yang diinginkan
- prosedur-prosedur individu dalam memberi masukan

Memprediksi Performance Kelompok
Klasifikasi tugas penting karena:
- Tipe tipe tugas yang berbeda memerlukan sumber daya yang berbeda.
- Jika anggota kelompok mempunyai sumberdaya tersebut maka akan sukses.